Jumat, 21 Januari 2011

Sejarah Latar Belakang Munculnya Pemikiran Tasawuf


Sejarah Umum kata Dr. Ibrahim Hilal: tasawuf itu adalah memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu adalah bermacam-macam ibadt, wirid dan lapar, berjaga waktu malam dengan memperbanyak shalat dan wirid sehingga lemahlah unsur jasmaniyah dalam diri seaeorang dan semakin kuatlah unsur rohaniyahnya.
Pengalaman ajaran tasawuf merupakan mata rantai yang tidak putus-putusnya, sambung bersambung dari satu generasi ke generasilainnya. Pola hidup dan kehidupan Rasulullah menjadi tumpuan perhatian dan anutan para sahabat,begitu juga pola hidup sahabat menjadi tumpuan perhatian dan anutan bagi para thabi’in, begitulah berkelanjutan terus menerus dan berkesinambungan. Pengalaman tasawuf di kalangan thabi’in nampak tersrmin pada pengalaman-pengalaman tokoh-tokoh tasawuf atu sufi yang terkenal pad masa itu antara lain sebagai berikut:
a.      Hasan Basri: Khauf dan Raja’
Hasan Basri, yang nama lengkaapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyur di kalangan tabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632M.) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728M.) ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin Khatab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksiakan peperangan badar dan 300 sahabat lainnya.[1]
Dasar tasawuf  Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak kemegahan dunia, semata-mata menuju Allah, bertawakkal kepada Allah. Khauf (takut) dan raja’ (pengharapan). Zuhud artinya, hati kurang tertarik kepada dunia, berpaling dari keindahan dan kemewahan dunia, karena berbuat taat kepada Allah.
Zuhud menurut sufi adalah suatu tingkatan jiwa (maqam) yang tertinggi dan maqam ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam rasa takut dan harapan di dalam hati. Takut bukan taku kepada Allah tetapi takut terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan yang akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah. Demikian pandangan tasawuf Hasan Basri selalu bersedih hati, senantiasa takut dan gentar kalau tidak dapat menunaikan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menghentikan larangan Allah sepenuhnya, karena diseret oleh syaitan dan nafsu. Tetapi kalau juga manusia telah berusaha memenuhi perintah dan berusaha menjauhkan diri dari kemaksiatan, karena kelalaian dan nafsunya juga masih terseret ke dalam kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa tetapi selalu menanmkan harapan terhadap keampunan Allah, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Menurut Hasan Basri antara rasa takut kepada kemurkaan Allah harus diikuti ketakutan itu dengan harapan. Takun akan kemurkaan Allah tetapi mengharap keampunan Allah. Namun rasa takut lebih utama dari harapan dan kalau harapan lebih dahulu dari rasa takut, niscaya hati menjadi kosong. Tujuan pokok khauf dan raja’ ialah ingin mencapai kebebasan dari kejahatan dan mencapai kebaikan dan ketakwaan.[2]
b.      Rabi’ah al-‘adawiyah: mahabbah (al-hubb al-ilaih)
Karena cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.
Itu sebabnya, Rabiah dipandang sebagai pelopor model tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada "Kekasih" (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul illah (mencintai tuhan Allah SWT). Bagi Rabiah, mahabbah tak lain sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperolehnya setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud (tapa) ke tingkat ridha (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya betul-betul hanya untuk Allah SWT.
Di mata Rabiah, dorongan mahabbah kepada Allah SWT berasal dari dirinya, juga lantaran hak Allah untuk dipuja dan dicinta. Puncak pertemuan mahabbah antara hamba dan cinta kasih Allah-lah yang menjadi akhir keinginannya. Lantaran ini pula, puisi-puisi mahabbah kepada Allah yang banyak diciptakan sufi-sufi masyhur, seringkali dinisbahkan kepadanya.
Dengan pengembaraannya yang bagai tak bertepi dalam mengarungi dunia mistik itu, oleh banyak kalangan pengamal tarekat dan tasawuf Rabiah digolongkan sosok sufi yang fenomenal. Letak fenomenal seorang Rabiah, selain pada keyakinannya bahwa segala cinta hanya milik Allah, juga lantaran kerendah-hatian dirinya. Soal kasih sayang Allah tadi misalnya, membuat dirinya tidak membenci setan. "Tidak! Kasih sayang Tuhan tidak mengenal kebencian terhadap setan," jawab Rabiah ketika suatu kali ia ditanya apakah dirinya benci kepada setan.
Bukti cinta Rabiah yang begitu besar melampaui batas-batas segalanya, di antaranya terlihat dalam syairnya yang masyhur berikut :  "Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena diriku, dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu. 
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu yang mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mu lah pujian untuk semuanya. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku; hatiku enggan mencintai selain Engkau."
Suatu hari, Sufyan Tsauri datang kepada Rabiah. Di depan dirinya, Sufyan mengangkat kedua tangannya, dan berdoa, "Tuhan Yang Mahakuasa, saya memohon harta duniawi dari-Mu." Mendengar doa itu, Rabiah kontak menangis. Ditanya mengapa dirinya menangis, Rabiah menjawab, "Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat Anda hanya mencarinya di dunia saja."
Sementara itu, di saat lain, terbetik kabar seseorang mengirim uang 40 dinar kepada Rabiah. Ia menangis dan menengadahkan tangannya ke atas, "Engkau tahu, Ya Allah, aku tak pernah meminta harta dunia dari-Mu, sekalipun Kau-lah pencipta dunia ini. Lantas bagaimana aku menerima uang dari seseorang, sedangkan uang itu sesungguhnya bukan kepunyaannya?" 
Tak hanya bagaimana kerendahan dan ketakberdayaan seorang hamba ia tunjukkan di hadapan Tuhannya, Rabiah juga senantiasa mengajarkan sifat dan sikap kerendah-hatian dan tawadhu kepada murid-muridnya. 
Ia juga melarang para muridnya itu menunjukkan perbuatan baik mereka kepada siapa pun. Bahkan, Rabiah meminta murid-muridnya itu untuk menyembunyikan perbuatan baik mereka, sebagaimana menutupi-nutupi perbuatan jahat mereka. 
Bagi Rabiah, segala penyakit dilihatnya sebagai cobaan yang datang dari Allah. Terhadap masalah ini, Rabiah selalu memikul setiap cobaan yang datang itu dengan penuh tabah dan kesabaran. Rasa sakit yang dahsyat sekalipun, tidak pernah mengganggunya dari perhatian dan pengabdiannya kepada Tuhannya. Bahkan, sering ia tidak menyadari ada bagian tubuhnya terluka sampai ia diberitahu orang lain. 
Suatu saat misalnya, kepalanya terbentur batang pohon hingga berdarah. Seseorang yang melihat darah bercucuran itu, dengan hati-hati bertanya, "Apakah Anda tidak merasa sakit?" 
"Aku dengan segala ragaku mengabdi kepada Allah SWT. Aku berhubungan erat dengan-Nya, aku disibukkan-Nya dengan hal-hal lain daripada hal-hal yang pada umumnya kalian rasakan," jawab Rabiah. 
Sekalipun penuh liku, banyak kalangan mengakui kehidupan Rabiah tak sedikit menyisakan keajaiban, yakni keajaiban milik orang-orang suci. Rabiah misalnya, mendapatkan makanan dari tamu-tamunya dengan cara yang aneh-aneh. Disebutkan, ketika Rabiah menghadapi maut, ia minta kepada teman-temannya untuk meninggalkannya. 
Rabiah lalu menyilakan para utusan Tuhan lewat. Ketika teman-teman Rabiah keluar itu, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadat, lantas terdengar suara menjawab, "Sukma, tenanglah, kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya. Ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya."
Dalam batas yang ada, Rabiah adalah 'hidup' dan senantiasa akan terus 'hidup' melalui pekerti ilmunya.[3]



c.       Dzu al-Nun Al-Mishri: Ma’rifah dalam ajaran tasawuf
Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum sufi dalam abad ketiga hijriyah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menurut garis perintah yang diturunkan dan takut terpaling dari jalan yang benar.
Dzu al-Misri, memandang bahwa ulama- ulama Hadits dan Fiqh memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai suatu hal yang menarik keduniaan di samping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitive barangkali menyebabkan para fuqaha mulai membenci dan menantangnya dan sekaligus menuduhnya sebagai seorang zindiq. Tidak hanya sampai di situ, bahkan para fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang pada waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Hakam penganut mazhab Maliki. Dzu al-Nun Misri dipanggil dan ditanyai oleh pimpinan ulama itu. Dari berbagai jawaban dan uraian yang diberikannya, maka pimpinan ulama itu menuduhnya sebagai seorang zindiq. Setelah itu Dzu al-Nun merasa bahwa dirinya tidak lagi disenangi masyarakat daerahnya. Untuk itu ia memutuskan untuk sementara waktu berkelana ketempat lain. Setelah merantau beberapa lama ia kembali pulang ke Mesir dan penguasa waktu itu ialah Ibnu Abi Laits, berpaham mazhab Hanafi sebagai pengganti Muhammad bin Abdul Hakam yang meninggal. Di Mesir, ia dituduh orang banyak sebagai orang yang zindiq dan demikian pula sikap penguasa waktu itu. Bahkan menyuruhnya pergi ke Baghdad menemui khalifah untuk menerima hukuman penjara.
Akan tetapi di Baghdad banyak sufi yang berasal dari Mesir dan di antara mereka ada yang bekerja sebagai peawai dilingkungan istana. Para sufi itu berusaha agar khalifah al-Mutawakkil bersedia menerima kedatangan Dzu al-Nun al- Misri. Ternyata kemudian khalifa al-Mutawakkil bersedia menerima kedatangan Dzu al-Nun al-Mishri serta menerima ajaran- ajaran yang dikembangkannya. Pada waktu al-Mishri akan kembali ke Mesir, khalifah melepasnya dengan penghormatan. Sesampainya di Mesir, ia kembali menyebar luaskan ajaran tasawufnya dan sejak itu pulalah tasawuf berkembang dengan pesat di kawasan Mesir. Namun tidak lama kemudian ia wafat di Jizah dan dimakamkan di Qurafah shughra pada tahun 245 Hijriyah.
Ma’rifat, menurut al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Hanya terdapat pada para sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati nurani mereka. Mahrifat dimasukan Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika ia ditanya bagaimana ia mencapai ma’rifat tentang Tuhan, ia menjawab :
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak akan tahu Tuhan”
ungkapan tersebut menunjukan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriyah sebagai pengabdian yang dikerjakan tubuh untuk beribadat. ma’rifat juga dimaksudkan dengan komunikasi cahaya dari Tuhan ke dalam hati nurani seseorang. Orang- orang yang sudah mencapai ma’rifat tidak lagi berada dalam diri mereka, tetapi mereka berada dalam dzat Tuhan. Mereka dapat melihat tanpa pengetahuan, tanpa mata, tanpa penerangan, tanpa tampa opservasi, tanpa penghalang dan hijab. Semua gerakan – gerakan merekan adalah di sebabkan oleh ALLAH. Kata –kata mereka adalah kata-kata Allah yang di ucapkan melalui lidah mereka . Dan penglihatan mereka adalah penglihan Tuhan yang telah masuk ke dalam mata mereka . dengan demikian , taraf tertinggiyang dapat dicapai oleh sufi sesudah masanya Dzu al-Nun al-Mishri ini adalah memperoleh pengetahuan super intelektual yang terkenal dengan istilah al-ma’rifat.[4]
d.      Abu Yazid Al-Bustami: ittihad
Ittihad secara bahasa berasal dari kata ittihadu-yattahidu yang berarti dua benda menjadi satu. Yang dalam istilah para sufi adalah satu tingkatan dalam tasawuf yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Tahapan ini merupakan tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dengan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Ada dua tingkat pertanyaan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan Tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan Tuhan. Yang disebut tingkat pertama. Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik yaitu kesadaran akan adanya maha Zat yang sangat berbeda. Kaum sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak yaitu bersatunya kebersatuan.
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat. Dengan fana’nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan Tuhan dapat dilihat dari syatahat yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:
لست أتعجب من حبى لك فأ نا عند فقير ولكنى أتعجب من حبك لى وانت ملك قدر
“ Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu karena aku adalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku karena engkau adalah Raja Maha Kuasa”
Ketika berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
قال ياابايزيد إنهم كلهم خلقى غيرك فقلت : فأنت ان وان انت
“Tuhan berkata, “Semua mereka kecuali engkau adalah mahluk”. Aku pun berkata, “Engkau adalah aku, dan aku adalah engkau.”
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan orang awam.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid adalah Tuhan, akan tetapi kata-kata iti adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui Abu Yazid yang sedang fana’an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti fir’aun. Proses ittihad Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanyalah hakekat yang satu yakni Allah. Bahkan ia tidak melihat dan menyadari dirinya terlebur dalam Dia yang dilihat.[5]
e.      Abu Mansur Al-Hallaj: Hulul
Hulul berarti penempatan, penyinaran, dan penurunan. Sedangkan menurut istilah Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan QS. al-Baqarah:34,Terjemahnya:
“Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada malaikat, “sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia enggan dan takabbur dan ia termasuk golongan kafir”
Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanyalah Allah, maka al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam ada unsur ketuhanan. Jika Nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia, yang terdiri atas roh dan jasad, lahut itu dapat bersatu dengan manusia dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang.
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut (keilahian) dan nasut (kemanusiaan), demikian pula manusia melalui maqamat, manusia mampu ketingkat fana’ dimana manusia telah menghilangkan nasutnya dan meningkatlah lahut yang mengontrol dan menjadi inti kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hululnya Tuhan dalam dirinya, atau Tuhan menitis kepada yang dipilih-Nya melalui titik sentral manusia yaitu roh.
Al-Hallaj mengatakan dalam syairnya
“Jiwa disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau, ia pun menyentuhku. Dan ketika itu dalam tiap hal engkau adalah aku. Aku adalah ia yang kucintai, dan ia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh. Jika engkau lihat, engkau lihat ia. Dan jika engkau lihat ia,engkau lihat kami”
Dan al-Hallaj pun mengatakan bahwa:
“Bila engkau tidak mengenal Allah
setidaknya engkau mengetahui tanda-tandanya.
Akulah tanda-tanda itu,
Akulah kebenaran sejati (ana al-Haq),
Sahabat-sahabat dan guru-guru adalah iblis dan fir’aun,
Iblis telah diancam dengan kesalahannya,
Fir’aun telah ditengelamkan ke dasar laut,
Tapi tidak mau mengakui kekafirannya,
Dan aku mesti dibunuh dan disalib,
Dan meski kaki dan tanganku dipatahkan,
Aku tidak akan mengaku salah.”
Menurut al-Hallaj, apabila jiwa seseorang telah suci dalam menempuh hidup kerohanian, akan naiklah tingkat hidupannya dari satu maqam ke maqam yang lain. Setelah sampai pada tingkatan yang paling tinggi, maka Tuhan akan menjelma dalam dirinya, sehingga apa yang dilakukannya merupakan perbuatan Tuhan. Ungkapan ana al-haqq bukanlah bermakna tekstual. Namun pada hakekatnya kata-kata tersebut adalah yang ia ucapkan melalui lidahnya.[6]

f.        Al-Ghazali: Tasawuf sunni
Al Ghazali menjadikan tasawu fsebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, hingga sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan sa’adah.
a. Pandangan Al Ghazali tentang Ma’rifat
Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh.
Al Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama, dan sufi. Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab. Singkatnya ma’rifat seperti Al Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama, tapi ma;rifat sufi.
b.      Pandangan Al Ghazali tentan As Sa’adah
Kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah. Ia menjelaskanbahwa As Sa’adah itu sesuai dengan tabiat. Sedangkan tabiat sesuatu itu sama dengan ciptaanya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar bagus dan indah; nikmatnya telinga ketika mendengar suara merdu. 
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkn kelezatan dan kenikmatan melihat tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupunmanusia sudahmati. Hal ini karena qalbtidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[7]

g.      Ibnu arabi : wahdat al-wujud
Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin ‘ali bin ahmad bin ‘abdullah ath-tha’I Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H., dari keluarkga berpangkat, hartawan dan ilmuwan. Namnay biasa disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu bakar ibn Al-Arabi, seorang Qadhi di Sevilla yang wafat tahun 543 H. di Seville(Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadits serta fiqih pada sejumalah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yakni Ibnu Hazn Al-Zhahiri.[8]
Wahdat al-Wujud yang merupakan sebuah doktrin dari Ibn Arabi, secara bahasa bermakna kesatuan wujud. Adapun makna terminologisnya adalah bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan dan bahwa wujud selain-Nya hanyalah ada dikarenakan manifestasi wujud-Nya. Dengan kata lain bahwa wujud selain-Nya adalah refleksi atau berasal dari wujud Tuhan. Satu-satunya eksistensi sejati adalah milik Yang Satu dan Yang Satu inilah yang tampak dalam semua manifestasi.
Berdasarkan teorinya, menanggapi pernyataan Mulla Shadra yang mengatakan wujud satu akan tetapi juga banyak (di karenakan gradasi), Ibn ‘Arabi menafikan adanya banyak wujud, karena menurutnya wujud itu hanya ada satu saja. Hal ini didasari atas adanya proposisi Al-wujûd wâjib, kullu wâjib wâhid, fa al-wujûd wâhîd (wujud itu bersifat wajib/dhoruriy, segala sesuatu yang wajib itu hanya ada satu, maka wujud adalah satu).
Dari adanya premis Al-wujûd wâjib, kita dapat mendapatkan satu kesimpulan bahwa kullu mâ laysa bi al-wujûd fa huwa laysa bi al-wâjib au mumkin (semua yang bukan wujud adalah bukan wajib, sedangkan semua yang bukan wajib adalah bersifat mumkin). Mumkin adalah posisi tengah antara wâjib dan mumtani’/mustahil.


[1] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. Dkk, ILMU TASAWUF, CV.PUSTAKA SETIA, Cetakan pertama, Bandung, 2009, h.97
[2] http://kang-kolis.blogspot.com/2009/01/hasan-basri-dalam-sejarah-ilmu-tasawuf.html
[3] http://sigitwahyu.net/rabiah-al-adawiyah.html
[4] http://ifud17.wordpress.com/Dzunnun Al Misri « Gelora Cinta Abadi.htm
[5] http://ansoriuin.blogspot.com/abu-yazid-al-busthami-ittihad.html
[6] http://abumuslimalbugisy.blogspot.com/2009/06/abu-mansur-al-hallaj-dan-abu-yasid-al.html
[7] Prof Dr Hamka, Tasauf, perkembangan dan pemurniannya,  PT Pustaka Panjimas, cetakan XIX,  Jakarta, 1994, h.109-117
[8] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. Dkk, Opcit, h.97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar